Firasat



“Jangan, tak usah lagi engkau berdusta. Semua orang tahu akan ceritamu itu.”

“Apa engkau tak merasa bersalah sedikitpun?”

“Tunjukkan,,,”

Lihatlah semua burung itu membawa daun kering untuk bersarang. Mereka mencari tempat yang aman untuk musim dingin nanti. Semua berebut untuk mendapatkan tempat yang terbaik. Kecuali mereka yang kalah dengan keadaannya.

Sedari tadi tak ada angin yang berhembus. Hawa panas ditengah teduhnya pepohonan yang rindang ini. Tak akan ada yang percaya tentang keadaan alam ini. Hanya kesendirian untuk merenungi sebuah kejadian di depan mata. Nyata tapi tak terasa. Redup jauh nuansanya. Petang seketika, dan hujan pun mengguyur.

Hanya bersandar dan diam. Di atas papan kayu yang rapuh. Sebagian hilang dimakan usia. Apakah dia menunggu?

Tak ada yang datang menghampiri. Sementara petir dan guntur semakin menjadi ganas dan tak terkendali. Entah apa yang terus membuatnya menunggu. Apa yang sedang ia tunggu. Tak kunjung datang untuk mengintipnya sekalipun.

“Aku tak kecewa jika Ia tak datang. Aku tak akan marah jika ia tak mengenaliku. Aku tak dendam jika ia menyakitiku. Aku bahkan tak tahu apa yang aku lakukan.”

Tatapan matanya masih sama, lurus menatap kedepan. Badannya tak lagi merasakan dingin. Ia terus menunggu dan lama sekali ia menunggu.

Senja itu masih menjadi bayang – bayang hitam yang tak bisa ia lupakan. Ketika sang mentari  mulai redup dan tak ada secelah cahaya pun yang menerangi langkahnya. Saat dipersimpangan jalan yang sepi nan hening waktu itu ia tak bisa berbuat apa – apa. Sulit kakiya untuk melangkah. Matanya tak pernah redup sedetik pun untuk tak melihat apa yang dihadapannya.

“Lepaskan aku. Bebaskan aku”.

Jeritan itu masih mengancamnya. Ia tak akan mampu melupakan walau hanya sekejap. Ia masih menghentikan waktu yang lama itu.

“Entin, Entin...” Terdengar seseorang memanggil namanya.

Ia masih menunggu. Dia tak tak menghiraukan suara yang memanggil namanya itu. Hujan mulai mereda. Hanya butiran sisa yang turun dan mengoyak kehangatan dirinya. Ia masih bertahan.

Kabut mulai menampakkan kekuasaannya. Menghalangi semua pandangan indah ditepi danau itu. Dari kejauhan terlihat seseorang berlari. Tak lama kemudian ia berhenti didepan Entin. Payung pelangi itu tak lagi berbentuk. Semuanya berantakan.

“Ibumu dibawa ke rumah sakit Ntin.”

Entin hanya terdiam. Kali ini mendengar dengan jelas kalimat itu.

“Ntin, ayo cepet pulang.”

Ditariknya tangan Entin dari genggaman kursi itu. Mereka berlari mengejar sang waktu. Namun Entin masih tak tahu bahwa dia lari menuju kegelapan. Akankah ia tersandung batu besar dan terjatuh hingga tak bisa berdiri. Itu yang ia harapkan. Ia masih berontak.

Seketika ia mengayunkan tangan dengan sekuat tenaganya. Sehingga tangan mereka terlepas. Entin menghentikan langkah kakinya. Ia memandangi danau itu. Sementara Nawa begitu terkejut dengan yang disaksikannya barusan.

“Tin,,” Nawa mendekati Entin. Ia menepuk pundaknya.

Hujan mulai reda. Sementara kabut mulai tebal. Sudut pandang pun semakin berkurang jaraknya. Lampu neon mulai berkelap – kelip mengitari danau itu. Mentari tak lagi menampakkan pesonanya. Ia hilang ditelan kegelapan. Rotasi alam yang tak bisa dihentikan. Hanya penciptaNya lah yang mampu mengatur semua itu.

Hening. Mereka berdiri ditepian danau. Senja semakin larut. Menutupi kabut hitam yang senyap. Hanya kontak batin yang mereka lakukan. Detik waktu tak bisa berhenti. Sudah satu jam mereka hanya menatap hamparan air nan luas.

Nawa memberanikan diri untuk mengambil langkah. Ia maju selangkah lalu menoleh ke arah Entin. Dipandanginya seluruh tubuh Entin. Tampaknya ia sangat tidak peduli dengan keadaan dirinya lagi. Bajunya basah kuyup. Badannya pun mulai gemetaran.

“Ett...” Belum Nawa selesai menyebut nama Entin, tiba – tiba.

“Kita balik sekarang Wa.” Sahut Entin

Nawa benar – benar terkejut. Ia pun menganggukkan kepala pertanda setuju. Senyum kecil di wajahnya mulai tampak. Meskipun terlihat samar dan masih kaku.

Ditengah perjalanan menuju rumah, Nawa menjelaskan keadaan ibu Entin. Mereka mempercepat langkah kaki agar segera sampai tujuan.

“Meskipun langit runtuh sekalipun, aku tak berharap untuk merubah keadaan waktu itu. Walau angin memporak – porandakan kehidupan ini, aku tak bisa menghentikannya. Meski hamparan savana luas menjadi kering sekalipun, aku tak mampu membuatnya tampak hijau lagi. Apakah alam marah? Bagaimana jika semua itu bisa mengubah duniaku? Lalu, akankah aku menjalani kehidupanku yang sekarang ini?”

Tiada kata terlambat. Setidaknya sudah berusaha. Bukan penyesalan yang datang, melainkan sebuah kenyataan yang harus dihadapi. Mundur bukanlah satu – satunya jalan terbaik. Mereka sampai dipelataran rumah Entin. Banyak orang berdatangan keluar masuk rumahnya. Bendera kuning berkibar di sudut halaman. Terdengar lantunan tahlil mengisi rumah itu. Entin merundukkan kepala. Nawa memeluknya.

“Jika hari itu tak ada, aku tak akan melihat ini. Jika dia kembali dengan senyuman, aku bisa memaafkannya. Jika mereka menyayangiku, aku tak bisa merasakan kasih sayang yang tulus ini. Jika aku tahu, aku pasti memilih. Dan karena aku tahu, aku memilih kehidupan ini. Aku tak meyesal. Aku bersyukur dan berterimakasih kepadaNya.”

“Entin...”

END

cerpen by Cholict Anam

Cholict

No comments:

Post a Comment

Translate

Instagram